TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Waspadai awal era demam berdarah parah

Pada 2017, Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa wabah demam berdarah, yang menyerang sekitar 200.000 orang, merugikan perekonomian hampir Rp1 triliun ($61 juta dolar Amerika).

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, April 24, 2024

Share This Article

Change Size

Waspadai awal era demam berdarah parah A worker sprays insecticide as an effort to prevent the spread of dengue fever in Mataram, West Nusa Tenggara (NTB), on March 13, 2024. (Antara/Dhimas Budi Pratama)
Read in English

L

ihat sekeliling Anda. Kemungkinan, Anda akan mendapati satu, atau bahkan lebih, kenalan yang sedang terbaring di tempat tidur atau dirawat di rumah sakit karena demam berdarah.

Teman Anda itu, sangat disayangkan, merupakan bagian dari tren buruk yang saat ini terjadi di Indonesia, yaitu demam berdarah. Sejak awal tahun, Kementerian Kesehatan mencatat telah terjadi lebih dari 60.000 kasus demam berdarah dan hampir 500 kematian akibat penyakit tersebut. Angka tersebut hampir tiga kali lipat jika dibandingkan kasus yang terjadi di periode yang sama pada 2023.

Situasi Indonesia saat ini mencerminkan apa yang terjadi secara global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat adanya peningkatan kasus demam berdarah. Angka yang dilaporkan berkisar antara setengah juta pada 2000 hingga 5,2 juta pada 2019.

Dan hal yang terburuk belum terjadi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Menurut Kementerian Kesehatan, lonjakan kasus demam berdarah tahun ini terjadi karena musim hujan yang hawanya lebih hangat, akibat adanya El Niño. Temperatur yang demikian memungkinkan nyamuk tumbuh lebih cepat dan hidup lebih lama. Akibatnya, penyakit ini menyebar lebih cepat dan lebih jauh. Seorang pejabat kementerian bahkan membuat prediksi suram bahwa wabah ini belum akan berhenti sampai selesainya masa pancaroba, atau peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.

Kondisi ini bisa jadi akan terulang di tahun-tahun mendatang, karena dunia mengalami pemanasan global yang dipicu oleh krisis iklim. Sebuah studi dengan model iklim pada 2019 memproyeksikan adanya tambahan 2 miliar orang yang berisiko terkena demam berdarah pada 2080. Angka yang dijadikan patokan awal adalah angka penderita pada 2015.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Jika pihak berwenang tidak melakukan apa pun untuk menghentikan penyebaran virus, kita akan melihat lebih banyak orang terinfeksi demam berdarah. Pembiaran dapat membuat virus bermutasi menjadi jenis baru yang mungkin lebih menular, atau yang berakibat fatal dan sulit ditangani.

Situasi saat ini memang sudah mengkhawatirkan. Pada 2022, otoritas kesehatan di Bangladesh mendeteksi setidaknya terdapat tiga jenis virus demam berdarah yang beredar di negara tersebut. Hal tersebut dilaporkan oleh Yale Environment 360. Terinfeksi satu jenis virus tidak memberikan kekebalan tubuh terhadap jenis virus lainnya. Justru, infeksi berulang dapat menyebabkan penyakit jadi lebih parah, sehingga meningkatkan risiko kematian.

Indonesia juga telah mendeteksi beberapa jenis virus demam berdarah yang paling banyak ditemui. Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa sebagian besar kasus yang tercatat secara nasional disebabkan oleh virus dengue serotipe-2 (DEN-2) dan serotipe-4 (DEN-4).

Pemerintah harus bekerja lebih keras untuk mencegah wabah demam berdarah yang terjadi tiap tahun. Tindakan harus diambil sebelum penyakit ini membunuh lebih banyak orang serta berdampak buruk pada perekonomian negara. Pada 2017, Kementerian Kesehatan memperkirakan bahwa wabah demam berdarah, yang menyebabkan sekitar 200.000 orang jatuh sakit, merugikan perekonomian hampir Rp1 triliun ($61 juta dolar Amerika).

Meningkatkan sistem pengawasan terhadap penyakit serta memperbaiki infrastruktur kesehatan masyarakat merupakan beberapa langkah penting dalam mengatasi wabah demam berdarah.

Pemerintah juga harus melanjutkan dan, jika mungkin, meningkatkan upaya yang telah dilakukan untuk mencegah penularan demam berdarah. Kita sudah punya nyamuk yang terinfeksi Wolbachia, yang mempersulit virus untuk berkembang biak di dalam vektor nyamuk Aedes aegypti.

Teknologi nyamuk Wolbachia yang digunakan di Yogyakarta dalam perjuangan melawan demam berdarah berhasil menempatkan kota itu sebagai kota dengan rekor jumlah penderita terendah, yaitu hanya 67 kasus, pada tahun lalu. Yogyakarta telah memanfaatkan teknologi nyamuk Wolbachia sejak 2016.

Kita juga punya vaksin demam berdarah, meskipun vaksin ini terbatas untuk pasien yang sebelumnya sudah pernah terinfeksi demam berdarah.

Namun, sayangnya, upaya pengembangan teknologi tersebut terhambat. Nyamuk Wolbachia ditolak masyarakat yang khawatir pada penyebaran nyamuk hasil laboratorium, karena klaim yang salah mengenai potensi efek samping bagi manusia. Penyebaran vaksin juga tidak mulus karena harganya mahal, yaitu Rp1,5 juta untuk dua kali suntikan. Vaksin demam berdarah juga tidak ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional [JKN].

Menilik wabah yang terjadi baru-baru ini, demam berdarah harus menjadi fokus presiden terpilih Prabowo Subianto, begitu ia mulai menjabat pada Oktober mendatang. Komitmen untuk mendukung upaya ilmiah dengan memangkas birokrasi dan menambah pendanaan mungkin diperlukan, untuk meningkatkan pertahanan negara terhadap virus yang ditularkan oleh nyamuk tersebut.

Jika tidak, kita hanya akan mengulang kisah Raja Namrud dalam kitab agama samawi. Kerajaan besar raja tersebut hancur karena diserang kawanan nyamuk.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.